Headlines News :
Home » » Kemunafikan

Kemunafikan

Kemunafikan. Kata ini selalu mengganggu saya akhir-akhir ini. Entah mengapa, setiap sedang merenung atau sedang berpikir, selalu saja kata itu muncul dan akhirnya, saya pun mulai berpikir tentang itu, hingga akhirnya, terciptalah tulisan ini, sebuah tulisan tentang kemunafikan. Dan mungkin, akan ada satu-dua tulisan lainnya tentang kemunafikan yang akan saya buat. Jadi, mohon maaf apa bila ada yang tersinggung atau merasa tidak sependapat dengan apa yang akan saya katakan lewat tulisan ini. Perbedaan itu wajar, bukan ? hehehe..

Jadi begini, menurut saya, setiap orang itu pasti pernah terjebak dalam satu hal yang bernama kemunafikan. Kemunafikan itu sendiri dapat berupa banyak hal. Ada kemunafikan yang memang sudah munafik sejak awalnya atau jelas-jelas munafik, ada juga kemunafikan yang sekilas terkesan tidak munafik atau bahkan terkesan baik. Ini saya sebut sebagai kemunafikan terselubung. Yang pada akhirnya membedakan orang-orang tersebut adalah, apakah mereka, pribadi lepas pribadi, memutuskan untuk mendobrak keluar dari kemunafikan itu, atau justru membiarkan dirinya terjebak dalam kemunafikan tersebut. Atau bahkan menikmati hal itu.
Setiap orang itu (pernah) munafik. Entah itu kemunafikan yang nyata atau yang terselubung. Saya tidak ingin bicara tentang orang-orang yang terjebak dalam kemunafikan yang nyata. Toh, kalau mereka tetap berada disana, itu berarti mereka sendiri yang memutuskan untuk tetep munafik, bukan ? Yang ingin saya bicarakan disini adalah sebuah kemunafikan yang lebih berbahaya. Sebuah kemunafikan yang terkesan tidak munafik atau bahkan baik. Sebuah kemunafikan dimana orang orang yang terjebak didalamnya tidak merasa munafik. Jadi, ini adalah sebuah kemunafikan yang terbungkus dalam kemunafikan lainnya, atau dapat juga dikatakan sebagai kemunafikan yang munafik.
Nah, kemunafikan jenis ini, yaitu kemunafikan yang munafik, terdapat dalam banyak hal : kebiasaan, formalitas, keklisean cara berpikir, dll. Yang ingin saya bahas disini adalah sebuah kemunafikan yang terselubung dalam topeng “keadilan”. Bukan “keadilan” nya yang munafik, tapi orang-orangnya yang menjadikan “keadilan” sebagai sebuah topeng kemunafikan mereka.
Pertanyaan yang mendasarinya adalah, sebetulnya apa sih konsep dasar dari “keadilan” itu ? Menurut saya, keadilan pada dasarnya adalah kesesuaian proporsi. Maksudnya adalah, jika ada dua orang, katakanlah si A dengan si B, membuat usaha bersama. Si A menanamkan modal sebesar 70 %, sementara si B Cuma 30%, maka, adilnya, ketika ada keuntungan, si A berhak mendapatkan 70% dari keuntungan itu, dan si B dapat 30%, bukan ? Jadi, adil itu bukannya melulu 50%-50%. Disinilah kebanyakan orang salah kaprah.
Nah, sekarang kembali lagi ke topik, seberapa banyak sih diantara kita yang pernah dengar seseorang bicara sepert ini : “Tuhan, Engkau, ya Tuhan, sungguh tak adil. Engkau hanya memberikan kesusahan demi kesusahan dalam hidupku,” dsb. Saya yakin sekali banyak diantara kita yang sering dengar orang bicara seperti itu terhadap Tuhan, atau bahkan memaki-maki Tuhan, menggugat Tuhan dengan gugatan itu. Atau jangan-jangan kita sendiri juga sering bicara seperti itu ?
Ya, lupakanlah. Saya tidak akan memfokuskan pembahasan pada orang-orang yang berbicara seperti itu. Dan memang sebetulnya mereka tidak salah, karena memang udah menjadi budaya yang mainstream apabila ada orang-orang yang bicara seperti itu. Masalahnya mungkin belum ada atau mungkin sedikit orang yang berpikir tentang itu. Atau memang justru sayanya saja yang lagi kurang kerjaan, insomnia sampai pagi dan tiba tiba berpikir tentang itu. Entahlah… hehehehe… Tapi yang jadi fokus saya adalah, apa yang sesungguhnya mendasari orang-orang dapat berbicara seperti itu ?
Biasanya, orang orang yang bicara seperti itu adalah orang-orang yang hidupnya sedang dirundung penderitaan demi penderitaan. Mereka bisa sampai bicara seperti itu karena mereka merasa Tuhan selalu saja memberiksan penderitaan demi penderitaan dala hidupnya, dan tak pernah memberikan kebahagiaan. Padahal, bukankah memang seperti itulah hidup ? Manusia tak akan selamanya menderita. Ya, karena dalam perjalanan menuju sebuah kebahagiaan, ada proses-proses yang harus dilewati. Dan terkadang proses itu menyakitkan.
Nah, disinilah lucunya. Orang bicara Tuhan tidak adil karena mereka merasa sedang dirundung penderitaan demi penderitaan, bukannya diberikan kebahagiaan demi kebahagiaan. Yang lucunya adalah, bukankah dengan logika yang sama, dengan cara berpikir yang sama, seharusnya orang orang tersebut juga mengeluh dan memaki-maki Tuhan dengan sebutan tidak adil ketika mereka sedang diberikan banyak kebahagiaan ? Seharusnya mereka juga bicara seperti ini : “ Tuhan, engkau sungguh tak adil. Kenapa dalam hidupku ini selalu saja Engkau berikan kebahagiaan. Kapan Engkau akan memberikan kesedihan kepadaku ? “ Tapi pada kenyataannya, tidak pernah, bukan, orang mengeluh seperti itu ?
Satu hal yang saya tangkap disini adalah kenyataan bahwa ternyata orang-orang tersebut menggunakan kata “keadilan” semata-mata sebagai sebuah senjata untuk membela keegoisan mereka. Mereka hanya menginginkan kebahagiaan. Jadi, bukan “keadilan” yang mereka cari, hanya kebahagiaan- kebahagiaan pribadi dan demi ego masing-masing sehingga mereka menggunakan kata “keadilan” itu hingga berbenturan dengan esensi dari kata itu sendiri. Nah, disanalah letak dimana kemunafikan itu terselubung.
Disisi lain, saya ingin berkata bahwa, ketika dalam hidup kita ini lebih sering mendapatkan kesusahan daripada kebahagiaan, sesungguhnya hidup ini sudah cukup adil (kalau memang benar keadilanlah yang kita cari). Mengapa ? jadi begini, sesuai dengan konsep keadilan yang tadi telah saya sampaikan à kesesuaian proporsi. Siapa yang berani berkata bahwa dalam hidupnya, dia telah lebih banyak berbuat baik darpiada berbuat kurang baik ? kalau mau dipersentasikan, saya yakin kadar kebaikan kita tidak lebih besar dari kadar ketidak-baikan kita. Kasarnya, seberapa banyak dari kita yang ketika berbuat baik itu benar-benar baik ? Maksudnya adalah, ketika kita melakukan perbuatan-perbuatan baik itu tanpa ada hal-hal lain dibalik itu semua ? Entah itu agar dilihat orang, atau demi pencitraan, atau mungkin demi menarik perhatian dari orang yang kita suka ? Intinya, seberapa banyak dari kita yang ketika berbuat baik tanpa mempunyai maksud terselubung di belakangnya ? Jadi, kalau kita lebih banyak menderita daripada bahagianya, hidup itu sudah cukup adil, bukan ?
Sekarang izinkan saya bicara tentang Tuhan, secara universal. Se-universal ketika kita bicara tentang Tuhan ketika kita mengkambinghitamkanNya atas penderitaan kita, dengan kata “keadilan” tadi. Tuhan, secara universal, yang di hampir semua agama dianggap sebagai tokoh tertinggi dalam kehidupan dan dunia, adalah sesosok Pribadi yang sangatlah sempurna : Baik, Kaya,Maha Memberi, Maha Mengampuni, dll. Nah, dengan pemahaman seperti itu, kita dapat simpulkan dia sangatlah baik, bukan ? Pemahaman ini berdasarkan ajaran-ajaran agama, karena pemahaman kita tentang Tuhan yang mainstream hanya dapat kita ketahui berdasarkan ajaran-ajaran agama.
Nah, sekarang coba bayangkan, Tuhan yang begitu baik, yang sebegitu baiknya kepada kita à memberi berkat, karunia, rahmat, nikmat, dsb, justru kita maki-maki, justru kita hujat sedemikian rupa dengan sebutan tidak adil dan semacamnya, demi ego kita. Gila segila-gilanya, kawan !! Coba bayangkan, bukankah ketika kita memaki-maki dan menghujat sesosok Pribadi yang sudah begitu baiknya kepada kita, dengan sebutan tidak adil, justru di titik itulah kita yang sedang berbuat tidak adil kepadaNya ???
Pada akhirnya, yang saya harapkan adalah, semoga kita bisa melepaskan dan mendobrak kemunafikan kemunafikan, setidaknya pada yang saya sampaikan pada tulisan ini , agar dunia kita boleh lebih tidak munafik dari sebelumnya. Terima kasih.
Share this post :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. KUATKAN SAYA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger