Headlines News :
Home » » Anak Kaki Gunung

Anak Kaki Gunung

Tidak ada kamus kegagalan dalam hidup Dewi Irawan (48). Dan itu terbukti ketika pada Sabtu (10/12) malam kemarin, dalam puncak anugerah Festival Film Indonesia (FFI) 2011, putra pasangan aktor dan sutradara senior Bambang Irawan dan Ade Irawan itu benar-benar membuktikan nubuat sakral itu, "Yang ada kesuksesan yang tertunda," katanya kepada Suara Merdeka melalui sambungan telpon, Selasa (13/12) dari Bukittinggi, Sumatra Barat. Di tanah kelahiran ibundanya itu, saat ini Dewi sedang menjalani syuting mini seri Anak Kaki Gunung, produksi Deddy Mizwar.

Betapa tidak dia merasakan kemanjuran ujaran itu. Pada 1983, bahkan usianya belum bulat 19 tahun, dia sudah masuk nominasi sebagai Best Actress dalam ajang FFI 1983 via film Titian Serambut Dibelah Tujuh. Salah satu film fenomenal dalam sejarah perfilman Indonesia buatan tahun 1982 itu, disutradarai Chaerul Umam. Skenarionya ditulis Asrul Sani, dan dibintangi Rachmat Hidayat dan El Manik. Dewi yang masih remaja, dan hijau harus beradu akting dengan sejumlah nama mapan lain layaknya Ida Leman, Sukarno M. Noor, Menzano, Youstine Rais, dan Soultan Saladin.
Meski demikian, lewat aktingnya, yang dalam bahasanya dia sebut, "Natural born actress," atau bakat akting yang terlahir dengan sendirinya. Menimbang darah keaktrisan yang menurun deras dari kedua orang tuanya, yang dua-duanya pekerja film, di luar nama adiknya, Ria Irawan, akhirnya mengantarkannya sebagai salah satu nominator Pemeran Utama Wanita Terbaik pada FFI 1983. "Mungkin belum rejeki saya, sehingga yang menang Christine Hakim," katanya menunjuk legenda hidup film Indonesia, yang meraih Piala Citra lewat film Di Balik Kelambu.
Tapi dia tidak berkecil hati, dan buktinya, pada FFI 2011, "Setelah menunggu 28 tahun," katanya di atas mimbar, dan dia ulangi di bawah panggung FFI, akhirnya dia mendapatkan Citra, meski untuk kategori Pemeran Pendukung Wanita Terbaik. Apa yang membuat Dewi sedemikian panjang baru mendapatkan piala yang diklaim tertinggi bagi insan Indonesia itu? "Saya sempat jeda lama dari perfilman Indonesia," katanya. Memang, setelah menikah pada 1992, Dewi mengikuti suaminya tinggal di Milan, Italia hingga 2004.
Di sana, katanya bercanda, dia hanya berakting menjadi pembantu dalam arti yang sebenarnya. Dalam pengertian, hanya menjadi ibu rumah tangga biasa. Hingga akhirnya, setelah 12 tahun alpa dari dunia perfilman Indonesia, dia akhirnya kembali ke dunia aslinya. Dunia yang dalam bahasanya, adalah sawah tempat keluarga besarnya mencangkul. "Ayah saya adalah petani yang mencangkulnya di ladang film, demikian pula saya," ujarnya.
Weleri
Jika berbicara tentang mendiang ayahnya, Bambang Irawan, maka benak Dewi senantiasa melayang kepada sebuah desa bernama Sendang Kulon di Weleri, tempat di mana ayahnya berasal, yang notabene sepelemparan batu dari Semarang. Oleh karenanya, kelak Bambang Irawan lebih dikenal sebagai aktor yang berasal dari Semarang ketimbang dari Weleri. Meski saat ini, dia telah kepaten obor atau kehilangan jejak dengan sanak kadangnya yang berada di sana, karena sebagian besar sudah pindah ke Jakarta semua. Tapi nama Weleri tetap ada di hati keluarga besar Irawan. 
Dalam catatan pemerhati film Yan Widjaja, Bambang Irawan adalah aktor idola asal Semarang pada era tahun 1960-an. Bersama istrinya, Arzia Dahar yang kemudian dikenal dengan nama Ade Irawan yang berasal dari Padang, kedua pasangan itu adalah ikon dalam perfilman Indonesia, pada masanya. Tidak mengherankan jika sejak kecil, Dewi Irawan dan Ria Irawan senantiasa dilibatkan dalam setiap proyek film oleh kedua orang tuanya, yang mempunyai rumah produksi sendiri bernama Agora (Arena Gotong Royong Artis), milik Bambang Irawan. "Jadi, sejak kecil Dewi dan Ria Irawan tergembleng dalam dunia seni peran," kata Yan.
Yan menambahkan, Bambang Irawan menjadi idola pada masa itu karena ketampanannya, "Bandingannya seperti Roy Marten pada masa muda." Meski dia menilai, sejujurnya bakat akting Bambang Irawan sedang-sedang saja. Tapi baru mengkilap aktingnya ketika diasah sutradara jempolan seperti Usmar Ismail. Demikian pula ketika berprofesi sebagai sutradara, "Bambang Irawan dikenal sangat produktif membuat film berbujet murah, meriah, dan gampang laris di pasar," ujar Yan. Di tengah keluarga film seperti inilah Dewi Irawan dilahirkan dan dibesarkan, sebelum hengkang ke Milan, Italia.
Ihwal perannya dalam film Sang Penari arahan sutradara Ifa Isfansyah, yang kemudian dinobatkan sebagai Film Terbaik di FFI 2011, karena menyabet beberapa kategori lainnya, yaitu Pemeran Utama Wanita, dan Sutradara Terbaik, Dewi bercerita sejatinya peran Nyai dalam film yang ceritanya diangkat dari novel Ronggeng Dukuh Paruh karya Ahmad Tohari itu, pada awalnya diberikan kepada adiknya, Ria Irawan. "Tapi, karena Ria sedang menjadi salah satu juri acara Indonesia Got Talent, dan skedulnya bentrok, maka Ria memberikannya kepada saya."  Kepada dirinya Ria Irawan berujar, "Peran Nyai nggak boleh keluar dari rumah Irawan," katanya.
Dewi sempat kaget ketika adiknya mengatakan hal itu. Sebab menurut Ria, peran Nyai selain bagus, tantangannya juga tidak mudah. Jadi sepengakuan Dewi, dia sempat merasa berat ketika dipasrahi peran itu, sebab dia harus mengikuti kasting terlebih dahulu, dan tidak seketika atau otomatis mendapatkan peran Nyai, yang sebenarnya dipasrahkan kepada adiknya itu. "Jadi saya ikut kasting pada Oktober 2010," katanya. Kebetulan produser Sang Penari, yaitu Shanty Harmain, juga penulis ceritanya Salman Aristo apalagi Ifa Isfanyah sebagai sutradara sepenceritaan Dewi, memang memproyeksikan lakon Nyai kepada Ria.
"Mungkin mereka nggak yakin dengan kemampuan saya, dan berpikir ulang untuk mengembalikan peran itu ke Ria," kata Dewi. Sebab, begitu tanggal syuting yang dijadwalkan, yaitu pada 17 Februari 2011 dipending, kontrak Ria Irawan dengan Indonesia Got Talent juga sudah usai. "Tapi akhirnya peran itu tetap jatuh ke saya," kenangnya. Ketidakyakinan para pembuat film Sang Penari kepada diri Dewi sangat dia mengerti, "Mungkin mereka menilai saya terlalu tua, dan pemain lama seperti saya, terlanjur dikenal lama pula hapalannya hihihi," katanya terkekeh. Untungnya Ifa sebagai sutradara mempunyai pertimbangan lain.
Ifa sepenceritaan Dewi menginginkan sosok Nyai yang bad women itu, harus masih nampak pula sisi baiknya. "Mungkin, karena saya masih mempunyai sisi lembut, jadi akhirnya (peran itu) diberikan kepada saya," katanya. Nah, sejak itulah, Dewi yang lama tinggal di Eropa harus pergi ke Purwokerto dan bolak-balik ke Purbalingga untuk melakukan observasi. Meski beberapa pemain utama lainnya seperti Prisia Nasutian, sudah terlebih dahulu pergi ke lokasi syuting.
Maka terhitung sejak Februari awal tahun ini, dia telah melakukan observasi ke Purwokerto, Purbalingga, Cilacap hingga Tegal. "Ternyata dialek Banyumasan tidak semedok bahasa Tegal," katanya. "Masih ada halusnya dan nada yang lebih unik." Sejak itu pula, Dewi sering main ke sejumlah pasar di Purbalingga dan Purwokerto, untuk mendengarkan dialek orang Banyumasan, lengkap dengan cara pengucapannya, atau konversesi. Bahkan tidak jarang dia langsung mempraktekan dialek-dialek itu. Tidak segan-segan, kepada istri para driver yang mengantarnya ke sejumlah tempat itu, Dewi mulai memraktekkan kemampuan berbicaranya dalam dialek Banyumasan.
"Saya juga merekam dialek itu, sebelum memraktekannya ketika membaca naskah, dan meminta mereka membetulkan dialek saya, jika dirasa kurang pas," katanya. Demikianlah observasi yang terus dilakukan Dewi, dengan kongkow di sejumlah pasar, merekam pembicaraan, dan mengamati bahasa tubuh orang Banyumas ketika sedang berkomunikasi di antara mereka. Singkat cerita, setelah selama tingga Minggu melakukan observasi, ketika proses syuting sudah tiba, maka bahasa Banyumasannya, dia nilai, dan dinilai sutradaranya, di atas rata-rata.
Pengalaman mengamati cara berbicara orang, sejatinya telah dialakukan ketika lama tinggal di Milan, Italia. Dari tidak bisa bahasa Italia, pelan dan pasti, karena rajin mengamati orang-orang yang berbicara di bus, di subway, dan berbagai tempat lainnya, Dewi akhirnya mampu dengan lanyah, pepak dengan dialeknya ketika berbicara dalam bahasa Italia. Hal yang sama dialakukan ketika dia akhirnya lanyah berbicara dalam bahasa Banyumasan.
Sayang, akunya, ketika dia sudah lanyah berbicara dalam bahasa Banyumasan, terlalu banyak adegan yang dia lakoni teredit dalam film itu. Meski sedikit banyak kecewa, tapi dia maklum, mungkin editor dan sutradara mempunyai pertimbangan tersendiri.
Dia mencontohkan, pada ritual mendem telor, dalam rangka memutus tali asmara antara tokoh Srintil dan Rasus, Dewi telah menghapal sedemikian rupa rapalan atau jampi-jampi dalam bahasa Banyumasan totok, dan itu durasinya sangat lama sekali, "Tapi, sayang juga dipotong," katanya. Dewi sendiri mendapatkan 45 scene dalam syuting Sang Penari. Sebuah jumlah yang menurut dia, sangat banyak sekali, apalagi untuk aktris paruh baya seusia dirinya. "Anda bisa hitung, aktris seusia saya ada berapa," katanya tanpa bermaksud sombong.
Maka, ketika adiknya Ria Irawan meramalkan dan menargetkan perannya akan mendapatkan ganjaran sebagai salah satu nominator Pemeran Pendukung Wanita Terbaik, dan benar-benar menjadi nyata, Dewi merasa jerih payahnya terbayarkan. Bahkan sebenarnya, dia telah melakukan persiapan untuk melakukan sekadar pidato layaknya pemenang, namun dia membatalkan niatnya itu, "Kesannya takabur." Meski yang dia ucapkan adalah sekadar sanjung puji untuk ibu, dan mendiang ayahnya, "Masih ada kau dalam aku," demikian tulis Dewi dalam pidato kemenangannya.
Tapi, ketika namanya benar-benar disebutkan sebagai pemenang, karena kekagetan, juga ndredeg, maka lupa semualah naskah pidato yang telah dia persiapkan ala kadarnya itu. Sebelum acara puncak itu, Dewi sempat bertanya kepada Tyo Pasukadewa, "Tyo ngomong apa dalam durasi 40 second, kalau menang?" Tyo menjawab,"Nggak usah ngomong, diem aja," ceritanya. Maka, ketika namanya benar-benar diumumkan sebagai pemenang, dalam durasi selama 40 detik yang diberikan kepada panitia, di atas mimbar Dewi hanya mengatakan, "Setelah 28 tahun, akhirnya dapat juga," selain itu, dia bahkan belum benar-benar percaya namanya disebut sebagai yang terbaik, menyisihkan Atiqah Hasiloan (The Mirror Never Lies), Endhita (?), Poppi Sovia (Catatan Harian Si Boy), dan Wulan Guritno (Masih Bukan Cinta Biasa).
Di bawah panggung, setali tiga uang, dirinya masih mengaku terlalu sulit menguasai emosi, karena saking senengnya. Dan yang membuat makin heboh, pada Minggu (11/12) paginya, dia dengan penerbangan pertama, harus segera kembali ke Bukittinggi, untuk kembali menjalani proses syuting, "Sampai-sampai Ibu bilang ke saya, ya Allah....selametannya aja belummm," katanya.

sumber: http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/entertainmen/2011/12/13/4974/Bakat-Akting-Terlahir-Sendiri
Share this post :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. KUATKAN SAYA - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger